PJBL Untuk Materi Pedagogi PPG Agama Katolik 2023 - Perangkat Mengajar Katolik SMA/SMK

PJBL Untuk Materi Pedagogi PPG Agama Katolik 2023

Project Based Learning  (PJBL) merupakan salah satu tugas yang harus dikerjakan oleh mahasiswa yang menjalani Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam jabatan. Tugas ini berkaitan dengan modul pedagogi. Modul Pedagogi berjumlah empat (4) modul, antara lain: Evaluasi Pmbelajaran, Kurikulum dan model-model pembelajaran, Teori Belajar dan Pembelajran, dan Profesi keguruan. Pada setiap akhir modul akan diberi tugas menganalisa materi dalam bentuk PBJL. 

Analisa materi ini dibagi empat siklus yaitu pertama mengidenfikasi masalah,  kedua Eksplorasi Penyebab Masalah Berdasarkan Kajian Literatur & Realitas, ketigaMenganalisa Penyebab Masalah Dominan dan Determinan dan keempat merencanakan aksi. Berikut ini merupakan salah satu contoh PJBL untuk materi pedagogi. Bapak dan ibu guru bisa membandingkannya dengan PJBL yang bapak dan ibu guru buat. Kirtik dan saran sangat diperlukan untuk perbaikan lebih lanjut.

A. Siklus I Mengidentifikasi masalah

Masalah-masalah yang sering penulis jumpai di sekolah atau satuan pendidikan tempat saya mengabdi antara lain:

Tingkat kedisiplinan yang masih kurang baik dari phak guru atau pendidik maupun siswa atau peserta didik. Kedisiplinan dalam konteks ini adalah disiplin belajar, dan disiplin waktu. Disiplin belajar dari pihak guru antara lain: guru enggan belajar atau mencari informasi berkaitan dengan pembelajaran yang efektif. Guru merasa bahwa ketikan selesai kuliah dan mendapat gelar sarjana maka selesai juga belajarnya. Hal ini berdampak pada proses pembelajaran yang cenderung membosankan. Sementara itu dari pihak siswa atau peserta didik, antara lain: Siswa tidak memiliki motivasi yang kuat untuk belajar, belajar hanya jika ada pengawasan dari guru, siswa enggan belajar mandiri, lebih memilih bermedia sosial dari pada menekuni mata pelajaran. Disiplin waktu dari pihak guru antara lain guru kadang terlambat masuk kelas atau bahkan tidak masuk kelas karena kesibukan pribadi atau karena menyelesaikan setumpuk administrasi yang dituntut kepala sekolah. Dan disiplin waktu dari pihak siswa adalah masih banyak siswa yang selalu terlambat datang sekolah, terlambat mengerjakan tugas yang semestinya harus diselesaikan pada jam pelajaran. Sehingga kadang guru menyuruh siswa untuk melanjutkannya di rumah dan ujung-ujungnya tugas tersebut tidak dikumpulkan. 

Ilustrasi dari Pexels.com

Pola komunikasi yang kurang efektif antara pimpinan (kepala sekolah) dengan para guru. Kadang kepala sekolah memberikan teguran kepada guru langsung dihadapan siswa, akibatnya guru tidak dihargai dan tidak memiliki wibawa di hadapan siswa. Kepala sekolah juga sering marah-marah manakala guru belum menyelesaikan seluruh perangkat pembelajaran. Sementara itu para guru cenderung bekerja sambil menggerutu atau bekerja asal-asalan (asal masuk kelas, asal selesai perangkat, asal datang sekolah), tidak peduli pada mutu aktivitas pembelajaran di dalam kelas.

Dalam aktivitas pembelajaran di kelas, ada guru yang tidak mempersiapkan diri dengan baik. Mengajar tidak menggunakan metode atau pun pendekatan sebagaimana yang termuat dalam RPP. Metode cerama masih sering dipakai sehingga siswa kadang mengantuk dan sering minta izin keluar kelas. Dalam melaksanakan kegiatan penilaian pembelajaran, guru belum paham secara menyeluruh bagaimana membuat atau menyusun soal secara baik dan benar. Soal yang disusun tidak sesuai dengan kisi-kisi soal yang dibuat. 

Guru juga belum paham bagaimana menyusun soal yang berorientasi  HOTS. Akibatnya siswa tidak terbiasa untuk menyelesaikan soal-soal yang rumit. Dalam memberikan penilaian kadang guru tidak jujur, artinya guru memberi nilai kepada siswa tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Siswa yang sebenarnya belum tuntas tetapi dibuat menjadi tuntas tanpa melewati proses yang sebenarnya. 

Akibatnya peserta didik merasa mampu walau kenyataannya dia tidak mampu.Guru juga enggan memanfaatkan teknologi untuk mendukung aktivitas pembelajaran di dalam kelas.Dari sekian banyak maslah yang diangkat di atas, masalah yang paling urgen dan penting yang harus segera diseleaikan adalah tentang bagaimana guru membiasakan diri untuk membuat atau menyusun soal berorientasi HOTS. 

Hemat penulis masalah ini paling mendesak untuk segera diatasi mengingat tuntutan zaman yang kian berubah. Sebab ketika guru dituntut memakai soal berorientasi HOTS maka ia (guru) juga dituntut untuk membuat atau merancang aktivitas pembelajaran (dalam bentuk RPP) yang membiasakan siswa atau peserta didik untuk berpikir tingkat tinggi. RPP yang disusun tentu harus dilaksanakan di dalam kelas bukan hanya sebatas tertulis di atas kertas.Secara teoretis Higher Order of Thinking Skills (HOTS), adalah kemampuan berpikir tingkat tinggi yang meliputi: kemampuan berpikir kritis, keratif, logis, reflektif, dan metakognitif serta mampu menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. 

Kemampuan berpikir tingkat tinggi tidak hanya membutuhkan kemampuan mengingat saja (recall), atau kemampuan menyatakan kembali namun membutuhkan kemampuan lain yang lebih tinggi, yakni dimensi metakognitif yang menggambarkan kemampuan menghubungkan beberapa konsep yang berbeda, menginterpretasikan, memecahkan masalah (problem solving), memilih strategi pemecahan masalah, menemukan (discovery) metode baru, berargumen (reasoning), dan mengambil keputusan yang tepat.  

Sedangakan bersasarkan  data empiris menunjukkan bahwa pada abad ke 21 ini orang dituntut untuk berpikir kritis dan analistis dalam menghadapi aneka perubahan yang kian cepat. Keadaan ini sesungguhnya menjadi daya dorong bagi guru atau pendidik untuk bisa mempersiapkan generasi yang kompeten dan bisa bersaing dengan lingkungan yang lebih luas. Karena itu para guru pada tingkat satuan pendidikan masing-masing harus sudah berani menampilkan sekaligus membiasakan diri menerapkan pembelajaran dan penilaian yang berorientasi HOTS. 

Dari dari penilaian hasil belajar diharapkan bisa membantu peserta didik dalam meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Sebab sejujurnya fakta menunjukkan bahwa para guru belum memiliki kemampuan yang cukup untuk menerapkan proses pembelajaran hingga pada penilaian yang berbasis HOTS. Oleh Karena itu sangat penting untuk menerapkan proses pembelajaran berbasis HOTS guna meningkat mutu pendidikan di tingkat satuan pendidikan khususnya dan mendidikan Indonesia umumnya.Berdasarkan permasalah di atas bisa dirumuskan suatu topik yang kiranya  bisa ditindaklanjuti atau dikembangkan, yakni: “Meningkatkan Mutu Pendidikan di SMAN 1 Pahunga Lodu Melalui Pembelajaran Beorientasi HOTS”

B. Siklus II: Eksplorasi Penyebab Masalah Berdasarkan Kajian Literatur & Realitas

a. Landasan Teori  (Kajian Teoretis)

Supadi (2021) dalam bukunya yang berjudul Manajemen Mutu Pendidikan mengungkapkan bahwa mutu dalam sebuah pendidikan merupakan sebuah filosofi dan metodologi yang membantu institusi  untuk merencanakan perubahan dan mengatur agenda dalam menghadapi tekanan-tekanan yang datang dari luar baik secara sosial, politik dan ekonomi. 

Mutu sebuah lembaga pendidikan merupakan suatu keharusan karena melalui pendidikanlah ditumbuhkan logika, etika dan estetika. Jadi antara kognitif, afektif dan psikomotor haruslah berjalan seimbang. Konsep ini  tentu sejalan dengan tuntutan perkembangan abad XXI. 

Dalam meningkatkan mutu pendidikan peran guru merupakan isu yang selalu laris untuk dibicarakan. Hal ini disebabkan karena guru meupakan salah satu subyek yang memiliki fungsi sentral dalam pendidikan. Karena itu mutu sebuah lembaga pendidikan juga sangat ditentukan oleh mutu gurunya. Oleh karena itu agar sebuah satuan pendidikan bisa bermutu maka guru atau pendidikanya haruslah bermutu. 

Guru yang bermutu adalah guru yang memiliki kompetensi yang mumpuni dalam aktivitas pembelajaran. Artinya guru harus selalu berupaya untuk meningkatkan kompetensi dan profesionalismenya yang selaras zaman atau yang sesuai dengan tuntutan zaman yang kian berkembang dan berubah. Tuntutan zaman sekarang ini (abad XXI) mengharuskan guru untuk menerapkan empat jenis keterampilan (4C), yakni Critical Thinking atau kesanggupan utntuk berpikir kritis, Communication atau kemampuan untuk berkomunikasi, Collaboration atau kemampuan untuk bekerja sama, dan Creativity atau kreativitas (bdk. Marcel Lintong, 2023, Kurikulum dan Model-model Pembelajaran).  Keempat keterampilan ini harus diterapkan dalam aktivitas pembelajaran. Penerapan aktivitas pembelajaran seperti ini akan mendorong guru dan peserta didik untuk mencapai taraf berpikir tingkat tingggi (High Order thinking Skills) yang juga menjadi tuntutan realitas konkret era abad XXI.

Ridwan Abdullah Sani (2019) dalam bukunya berjudul Pembelajaran Berbasis HOTS, menjelaskan bahwa High order Thinking Skills (HOTS) merupakan kesanggupan berpikir tingkat tinggi yang meliputi: kemampuan berpikir kritis, keratif, logis, reflektif, dan metakognitif serta mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapi. 

Kemampuan berpikir tingkat tinggi ini tidak hanya membutuhkan kemampuan mengingat saja (recall), atau kemampuan menyatakan kembali tetapi juga  membutuhkan kemampuan lain yang lebih tinggi, yaitu dimensi metakognitif. Dimensi metakognitif ini menggambarkan kemampuan antara lainkemampuan untuk menghubungkan beberapa konsep yang berbeda, kemampuan menginterpretasi, kemampuan memecahkan masalah (problem solving), kemampuan untuk memilih strategi pemecahan masalah, kemampuan untuk menemukan (discovery) metode baru, Kemampuan berargumen (reasoning), dan kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat. 

Konsep keterampilan tingkat tinggi (High Order thinking Skills)  inilah yang mesti diterapkan oleh guru dalam aktivitas pembelajaran di dalam kelas. Namun agar hal itu bisa terlaksana dengan baik, guru sendiri harus memahami betul konsep dimaksud sehingga bisa diimplementasikan secara efektif dan bermanfaat bagi peningkatan kualitas pendidikan di tingkat satuan pendidikan.

b. Landasan Empiris (Kajian Fakta)

Berdasarkan  Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang diterbitkan pada maret 2019 lalu memotret sekelumit masalah pendidikan Indonesia. Dalam kategori kemampuan membaca, sains, dan matematika, skor Indonesia tergolong rendah karena berada di urutan ke-74 dari 79 negara. (Bdk. Albertus F. 2023, Modul Evaluasi Pembelajaran). Fakta ini sesungguhnya menggambarkan mutu atau kualitas pendidikan di Indonesia umumnya. Hal ini pulalah yang menjadi salah satu faktor yang mendorong pemerintah dalam hal ini Kemendibudritek untuk melakukan berbagai langkah perubahan terhadap kurikulum atau sistem pendidikan di Indonesia. Ujian Nasional (UN) ditiadakan dan sekolah atau satuan pendidikan diberi wewenang seluas-luasnya untuk menentukan kelulusan peserta didiknya. Dihapusnya UN merupakan kabar yang paling menggembirakan bagi para guru dan peserta didik. Namun, hemat penulis hal ini menjadi suatu tantangan tetapi sekaligus peluang. Tantangannya adalah para guru belum terbiasa untuk mandiri dalam memberikan penilian kelulusan setelah sekian lama didikte oleh pemerintah. Namun peluangnya adalah para guru lebih mudah berkreasi seturut potensi yang dimilikinya. Dalam Hal ini potensi yang selaras zaman sesuai tuntan abad XX yakni pembelajaran yang berorientasi HOTS.

SMAN 1 Pahunga Lodu merupakan salah satu satuan pendidikan tentu saja memiliki andil dalam menciptakan generasi yang berkualitas. Perkembangan zaman yang kian pesat sangat mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup peserta didik. Hal ini mendorong guru atau pendidik untuk berpikir ekstra bagaimana menajdikan generasi bangsa yang memilih SMAN 1 Pahunga Lodu sebagai tempat untuk mencari dan menemukan jati diri yang bermutu dan bisa bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya di Indonesia. 

Setelah melewati kajian teoretis di atas dan menghubungkannya dengan fakta empiris yang terjadi, sebagai guru penulis merasa tergerak untuk berdiskusi dengan teman sejawat pada satuan pendidikan SMAN 1 Pahunga Lodu guna memahami konsep berpikir tingkat tinggi  sekaligus bagaima menerapkannya dalam aktivitas pembelajaran di dalam kelas. Jika Hal ini dilakukan, penulis yakin mutu pendidikan di Indonesia umumnya dan di SMAN 1 pahunga Lodu khususnya bisa ditingkatkan sesuai tuntutan zaman. 

C. Siklus III: Menganalisa Penyebab Masalah Dominan dan Determinan

a. Penyebab Masalah Dominan

Setiap persoalan atau masalah yang muncul tentu bukan tanpa sebab dan penyebabnya itu harus ditelusuri dan ditelisik lebih jauh dan dalam hingga ke akar-akarnya, selanjutnya hal itu diangkat ke permukaan. Maka berhadapan dengan masalah di atas, penyebab yang paling utama atau dominan adalah rendahnya mutu atau kualitas pendidikan terjadi karena Dua faktor yang saling berkaitan satu sama lain, antara lain: 

Pertama, kurang efektifnya aktivitas pembelajaran yang dilakukan guru di dalam kelas. Para guru cenderung memakai pola atau model pembelajaran yang sudah ketinggalan zaman. Kelemahan dasar inilah yang menjadi pemicu utamanya. Guru kurang menyadari bahwa arus perubahan kian deras menerpa kehidupan. Dan yang dituntut dari guru adalah kreativitas dalam mengajar. Menurut H. Darmadi (2018) kreativitas merupakan ruh dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian kreativitas sesungguhnya daya yang menggerakan sekaligus menghidupkan dalam aktivitas pembelajaran.  Minimnya kreativitas guru tentu saja memberi dampak signifikan bagi mutu pendidikan. Sebab, pendidikan itu sendiri merupakan suatu rekayasa untuk mengendalikan learning guna mencapai tujuan yang direncanakan secara efektif dan efisien. Dalam proses rekayasa ini, peranan teching sangat penting karena merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk mentransfer pengetahuan, keterampilan dan nilai kepada peserta didik sehingga apa yang ditransfer memiliki makna bagi diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. Kreativitas guru inilah yang perlu diperhatikan dan ditingkatkan agar mutu pendidikan itu sendiri dapat meningkat. Kreativitas guru yang dituntut oleh zaman ini (abad 21) memenuhi 4C, yakni Critical thinking and problem solfing (ketermpilan berpikir kritis dan memecahkan masalah), Collaboration (kemampuan untuk bekerja sama), Communication (keterampilan berkomunikasi) dan Creative thinking (kemampuan untuk berpikir kreatif). Keempat hal inilah yang wajib dilakukan guru. Tuntutan 4C inilah yang dipersiapkan guru dan hal itu termuat dalam skema Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang nantinya dipergunakan dalam aktivitas pembelajaran di dalam kelas. Jika hal ini terlaksana secara efektif dan efisien maka hemat penulis kemampuan berpikir tingkat tinggi (hots) bisa tercapai secara maksimal. Dan pada akhirmya kualitas pendidikan bisa meningkat dan mutu lulusannya bisa bersaing di tengah kehidupan yang lebih kompleks.

Kedua, sering ditemukan guru malas berkreasi karena guru melihat aktivitas pembelajaran di sekolah sebagai pekerjaan sampingan sehingga guru tidak sungguh-sungguh menjalankan tugas keprofesiannya (H. Darmadi: 2018). Hal ini tentu berdampak langsung pada kesiapan guru dalam menjalankan kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Jika demikian sudah bisa dibayangkan kualitas pembelajaran yang akan terjadi dalam kelas. 

b. Penyebab Masalah Determinan

Selain kedua masalah utama atau yang paling dominan sebagaimana dideskripsikan di atas, ada juga masalah lain yang turut menciptakan rendahnya kualitas pendidikan, Antara lain:

Pertama, adanya sistem pendidikan dengan manajemen yang kaku. Ada hal atau situasi yang membuat guru itu tidak bisa berkreasi secara optimal, yakni guru dilihat sebagai obyek pendidikan, artinya guru hanya sebagai pelaksana ketentuan yang sudah ditetapkan oleh pemangku kepentingan. Dan selanjutnya sama seperti guru peserta didik juga merupakan obyek pendidikan. Konsep ini pun masih mewarnai pola pikir guru. Siswa sebagai obyek yang hanya melaksanakan seperangkat aturan yang dibuat guru dan siswa wajib mematuhinya (Anselmus J.E. Toenlioe, 2014). Pemahaman seperti inilah yang menyebabkan guru dan siswa tidak lebih sebagai mesin atau benda yang hanya bisa bergerak jika ada yang menggerakan atau mengaturnya. Sesungguhnya hal ini mengakibatkan guru malas berkreasi, dan tidak memiliki keinginan yang kuat untuk mengembangkan ilmu sesuai bidangnya. Adanya sistem yang begitu kuat yang membelenggu para guru ini berakibat pada lemah bahkan matinya kreativitas guru dan peserta didik. Manakala ada suara kritis guru agar lebih bebas berkreasi dalam aktivitas pembelajaran, itu dilihat sebagai aksi pembangkangan terhadap aturan, apa lagi bila yang dibuat guru itu di luar kelaziman. Guru tidak bisa berkreasi karena takut dinilai buruk oleh atasan (kepala sekolah) yang tentu saja berdampak pada kenaikan pangkat atau golongan. Sistem ini pula yang mendorong guru untuk melakukan hal yang sama kepada peserta didik sebagaimana yang dialaminya. 

Kedua, rendahnya partisipasi masyarakat setempat untuk mendukung memajukan pendidikan. Masih ada masyarakat yang beranggapan bahwa pendidikan hanya dilihat sebagai tempat untuk memproduksi ijazah. Tujuan orang bersekolah atau mengenyam pendidikan adalah untuk mendapatkan ijazah (Rudianto, 2018). Akibatnya setelah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu, orang tidak sanggup berbuat apa-apa karena tidak bisa bersaing dengan orang lain. Ini juga menjadi cerminan tentang kualitas pendidikan yang rendah.

Setelah melihat penyebab utama serta penyebab determinan yang dikemukakan di atas maka bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa rendahnya kualitas pendidikan terjadi karena lemah atau kurangnya kreativitas guru dalam melakukan aktivitas pembelajaran yang didukung oleh adanya sistem pendidikan yang kaku dan rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. 

D. Siklus IV: Rencana Aksi

Setelah melihat penyebab dominan serta penyebab determinan yang dikemukakan di atas maka bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa rendahnya kualitas pendidikan terjadi karena lemah atau kurangnya kreativitas guru dalam melakukan aktivitas pembelajaran yang didukung oleh adanya sistem pendidikan yang kaku dan rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Untuk mengatasi persoalan yang ada perlu dicarikan jalan keluar yang tepat dan efektif. Karena itu, penulis menawarkan solusi yang kiranya bisa dijadikan acuan bagi guru dan satuan pendidikan. Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan, antara lain:

1. Satuan pendidikan harus memberikan ruang gerak yang seluas-luasnya bagi guru untuk secara kreatif mengembangkan diri. Satuan pendidikan menyusun program yang bertujuan untuk mengembangkan komptensi guru. Program tersebut haruslah dalam bentuk workshop atau pun MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) dengan menghadirkan narasumber kompeten yang akan membimbing para guru. Para guru juga harus terbuka dan rendah hati untuk siap dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang diberikan.

2. Dalam mengembangkan kompetensinya, guru juga tidak hanya mengharapkan atau menunggu program dari sekolah. Sudah saatnya guru harus proaktif secara konkret melalui kegiatan pelatihan yang dilakukakan secara daring oleh lembaga atau pemerhati pendidikan. Salah satunya yang dicanangkan oleh kemendikbudristek selama ini adalah program guru belajar dan berbagi yang gampang diakses oleh guru yang telah memilik akun belajar (www.belajar.id).

3. Setelah mengikuti pelatihan dan mendapatkan sertifikat, guru harus sanggup mengimplementasikannya dalam aktivitas pembelajaran. Ilmu yang didapatkan mestinya mendorong guru untuk mengaktulisasikannya dalam kelas. Penerapan di dalam kelas inilah yang paling penting dan tercantum dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). RPP ini tentu bukanlah hanya sebatas rencana tetapi haruslah merupakan sebuah rencana yang wajib untuk dilaksanakan. Secara sederhana, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ini memuat tiga hal, yakni:

a. Tujuan pembelajaran, yang memuat arah akhir yang akan dicapai oleh peserta didik baik secara kognitif, psikomotor dan afeksi. Guru wajib menyampaikan hal ini di awal (pendahuluan) sebelum kegiatan inti. 

b. Langkah-langkah pembelajaran, memuat tahapan-tahapan pembelajaran. Dalam hal ini guru harus mencantumkan sintak pembelajaran dalam hal ini guru harus menerapkan keterampilan abad 21 sebagai acauan dasar, dan ini merupakan kegiatan inti dalam pembelajaran, yaitu: 

  1. Critical thinking and problem solfing (keterampilan berpikir kritis dan memecahkan masalah), pada bagian ini guru menyampaikan pokok persoalan akan dibahas. Pokok persoalan ini diramu dalam bentuk kasus relevan yang terjadi yakni artikel atau bacaan yang telah disiapkan yang diikuti dengan pertanyaan yang harus dicarikan jawabannya.
  2. Collaboration (kemampuan untuk bekerja sama), pada bagian ini peserta didik dibagi kedalam kelompok yang diatur dan disepakati bersama guru dan siswa (satu kelompok 4 orang siswa). Dalam kelompok inilah peserta didik bekerja sama untuk menemukan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
  3. Communication (keterampilan berkomunikasi),  pada bagian ini masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya dan selanjutnya kelompok lain menyampaikan sanggahan berupa peneguhan atau juga dalam bentuk bantahan. Agar tidak terjadi keributan oleh kerena perbedaan ide maka guru bertindak sebagai moderator.
  4. Creative thinking (kemampuan untuk berpikir kreatif), pada bagian ini guru memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada peserta didik untuk mengemukakan pandangannya berupa refleksi atau pendalaman atas materi yang dibahas. Guru menciptakan suasana kelas yang tenang yang memungkinkan peserta didik untuk berefleksi (bisa diiringi dengan alunan musik yang meneduhkan pikiran dan batin). Pada bagian akhir guru menyampaikan peneguhan atau penguatan.

c. Asesmen atau penilaian, pada bagaian ini guru menyampaikan beberapa pertanyaan untuk mengukur sejauh mana pemahaman peserta didik terhadap materi yang telah dibahas bersama. Peserta didik menjawab pertanyaan secara tertulis dan langsung diperiksa oleh guru. Jika dijumpai ada peserta didik yang tidak tuntas maka guru wajib memberikan tugas tambahan seuai dengan meteri yang dibahas. Sedangkan yang sudah tuntas guru menyampaikan materi yang akan dibicarakan pada pertemuan berikutnya sekaligus menugaskan mereka untuk membacanya secara cermat.

4. Setelah melakukan aktivitas pembelajaran di dalam kelas, sangat penting bagi guru untuk merefleksikan sejauh mana langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan berjalan efektif dan efisien. Dalam refleksi itu guru harus sanggup menemukan kelebihan dan juga kekurangannya. Kekuaranngan inilah yang harus diperbaiki misalnya ada peserta didik yang susah sekali mengemukakan pendapatnya atau bahkan ada siswa yang suka mendominasi pembiaraan. Hal seperti ini bisa didiskusikan dengan teman sejawat untuk secara bersama-sama menemukan solusi terbaik.

5. Untuk melaksanakan aktivitas pembelajaran selanjutnya guru bisa mengundang kepala sekolah untuk melakukan supervisi terhadap aktivitas pembelajaran yang dilakukan. Jika kepala sekolah berhalangan, guru bisa meminta bantuan guru lain (teman sejawat) yang tidak berhalangan. Catatan atau masukan dari kepala seekolah dan teman guru sangat membantu untuk memperbaiki atau membenahi aktivitas pembelajaran pada pertemuan selanjutnya.

Hemat penulis, langkah-langkah di atas perlu ditindaklanjuti demi meningkatkan kreativitas guru dalam mendesain kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Sebab kreativitas guru sangat penting untuk meningkatkan kualitas atau mutu pendidikan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PJBL Untuk Materi Pedagogi PPG Agama Katolik 2023"

Posting Komentar