PBL Analisis Materi Profesional PPG Pendidikan Agama Katolik 2023 - Perangkat Mengajar Katolik SMA/SMK

PBL Analisis Materi Profesional PPG Pendidikan Agama Katolik 2023

PBL (Problem Bassed Learning) merupakan  salah satu tugas yang akan dikerjakan oleh guru yang mengikuti program studi Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam jabatan. Tugas ini erat berkaitan dengan materi profesional, artinya berkaitan dengan kompetensi bidang keilmuan yang menjadi keahlian dari mahasiswa PPG. 

Pada kesempatan ini akan dibagikan salah satu contoh tugas PBL untuk materi profesional Pendidikan Agama Katolik. Besar harapan agar hal ini bisa memberi inspirasi bagi bapak dan ibu guru yang sedang antri menunggu jadwal pelaksanaan PPG.

Sama Seperti pada tugas PJBL (Project Bassed Learning), PBL ini juga terbagi dalam beberapa siklus yang dimulai dari mengidentifikasi masalah, eksplorasi penyebab masalah berdasarkan kajian literatur, eksplorasi penyebab masalah berdasarkan kajian realitas atau empiris, menganalisa penyebab masalah dominan, menganalisa penyebab masalah determinan, dan rencana aksi.

Ilustrasi gambar: pexels.com

A. Indentifikasi Masalah

Gereja tidak hanya diartikan sebagai gendung untuk beribadat tetapi juga  dipahami sebagai umat Allah dan gereja juga dimengerti sebagai sebua persekutuan yang terbuka. Sebagi umat Allah Gereja merangkum semua orang yang percaya pada Kristus dan seabagai persekutuan yang terbuka gereja itu membuka diri untuk semua orang. Untuk membangun sebuah Gereja dibutuhkan tentu bukan terutama menggunakan materi atau harta kekayaan melainkan iman. Iman ini bertumbuh dalam doa. Dan buah dari doa itu akan terlihat dalam perilaku hidup. Konsep dan pemahaman ini pun ditanamkan dan diajarkan kepada peserta didik di satuan pendidikan oleh guru pendidikan agama katolik. Namun dalam kenyataannya ditemukan sejumlah persoalan baik yang terjadi di keluarga, sekolah, masyarakat dan bahkan di dalam Gereja itu sendiri.

1. Lingkungan Keluarga, 

a. Ditemukan banyak peserta didik beragama katolik yang berasal dari orangtua yang masih kuat memegang kepercayaan lain (kepercayaan Marapu di Sumba Timur). Anak-anak ini tidak memiliki kebiasaan hidup doa bersama dalam keluarga;

b. Ada peserta peserta didik yang tidak tinggal bersama orangtua kandung tetapi tinggal bersama orangtua wali yang memiliki hubungan keluarga yang juga beragama katolik tetapi orangtua jarang ke gereja pada hari Minggu;

c. Ada juga peserta didik yang tinggal dengan wali yang tidak memiliki hubungan keluarga dan bukan beragama katolik tetapi beragama protestan sehingga tradisi kekatolikan dalm rumah hampir pasti tidak ada;

d. Dan ada pesrta didik yang rumahnya sangat jauh dari gereja dan pada hari minggu ia tidak ke gereja katolik tetapi memilih untuk beribadah di gereja protestan karena lebih dekat dengan rumahnya.

2. Lingkungan Sekolah

a. Guru hanya murni sebagai guru yang mengajar di dalam kelas dan tidak ada implementasi atau aksi nyata dari pelajaran yang diberikan;

b. Ruang gerak guru terbatas karena sekolah tidak hanya berfokus pada satu agama;

c. Pembinaan kerohanian jarang bahkan tidak ada. Kalau pun ada itu hanya sebatas misa atau perayaan ekaristi.

3. Lingkungan masyarakat

a. Banyak peserta didik yang hidup dalam lingkungan yang mayoritas beragama protestan yang menyebabkan kehidupan doa mereka terpola oleh konsep doanya protestan ketimbang doa katolik. Hal ini penulis saksikan sendiri saat menyuruh siswa untuk memimpin doa sebelum dan sesudah pelajaran dalam kelas;

b. Ada pesrta didik yang memilih mengikuti kegiatan kerohanian dari gereja protestan dengan alasan kegiatan kerohanian di gereja katolik sangat jarang dan tidak bebas;

c. Kebanyakan umat katolik pergi ke gereja hanya menunggu saat perayaan Natal, Paskah dan juga ketika anaknya sambut baru dan permandian. Kebiasaan ini seakan sudah menjadi rahasia umum di kalangan umat dan masyarakat.

4. Dari dalam Gereja sendiri

a. Pastor paroki bersama dewan paroki menyusun program kerja berkaitan dengan pembinaan iman umat tetapi hanya sebatas administrasi dengan minim pelaksanaan. Alasan yang paling sering didengar adalah kesibukan, pastor sibuk, pengurus lingkungan juga bilang sibuk, seksi-seksi yang bertanggungjawab juga sibuk. Tidak ada yang disalahkan karena semua merasa diri benar;

b. Pastor dan dewan paroki lebih sibuk membangun gereja sebagai gedung ketimbang membangun fondasi iman baik orangtua maupun anak-anak;

c. Jikalau pastor keras dengan umat atau pun dengan dewan paroki maka banyak umat yang meninggalkan gereja katolik dan pindah ke gereja protetas. Demikian juga sebaliknya jika di gereja protestan pendetanya keras maka umat kembali lagi ke gereja katolik dan ada juga yang memilih masuk Islam. Jika semuanya keras maka umat atau masyarakat kembali ke kepercayaan asli yakni Marapu. Ini fakta yang penulis dengar, lihat dan alami bersama umat dan masyarakat.

Berhadapan dengan persoalan yang dikemukakan di atas sebagai guru agama katolik, penulis berpikir ekstra keras tentang bagaimana membangun fondasi iman anak didik. Sebab hemat penulis fondasi iman anak muda gereja atau Orang Muda Katolik (OMK) yang kokoh akan membuat Gereja Katolik itu tumbuh menjadi lebih kuat kala badai perubahan zaman kian deras menghampiri. Hal ini pun mendorong penulis untuk mengangkat persoalan ini melalui tulisan berjudul “Peranan Guru Agama Katolik dalam Pendidikan Iman Peserta Didik”

B. Eksplorasi Penyebab Masalah Berdasrkan Kajian Literatur

Kata iman berasal dari kata bahasa Ibrani yaitu he emin yang berarti mengamini. Iman adalah menerima atau mengiakan suatu, sekalipun sesuatu itu tidak atau belum pernah dilihatnya. Unsur penting lain yang terkandung dalam kata iman atau percaya ini adalah perasaan serta sikap berserah. Berserah di sini berarti mempercayakan seluruh diri pada kehendak Tuhan (Y.M Seto Marsunu, 2019:7). Dengan demikian, Iman sesungguhnya berarti bertemu dengan Allah dan hidup dalam kesatuan dengan-Nya. Iman bukanlah pertama-tama berarti menerima aturan, khususnya untuk bidang moral, melainkan menghayati hidup secara otonom dan bertanggung jawab dalam kesatuan pribadi dengan Allah (Konferensi Wali gereja Indonesia, 1996: 15). 

Keluarga dan sekolah merupakan komunitas atau tempat di mana anak-anak banyak menghabiskan waktunya untuk menjalin relasi. Oleh karena itu, pendidikan yang memberikan keteladanan nilai-nilai religiositas perlu diciptakan dan dijaga. Secara khusus dan utama keluarga hendaknya bertanggung jawab terhadap mutu pendidikan tersebut. Dalam arti tertentu, tidak ada sesuatupun yang mampu menggantikan katekese keluarga, khususnya karena lingkungannya yang positif dan reseptif, karena teladan orang dewasa, dan karena pengalaman eksplisit dan praksis iman. Karya pendidikan iman perlu memberikan perhatian akan pentingnya dua ranah pendidikan yang vital. Menurut Petunjuk Umum Katekese, kedua ranah tersebut  adalah keluarga dan sekolah (Komkat KWI, 2000: 162). Hal ini berarti bahwa pendidikan iman katolik hendaknya memerhatikan kedua ranah pembinaan ini. 

Pendidikan adalah proses perubahan menuju kedewasaan, pencerdasan dan pematangan diri. Dewasa dalam perkembangan badan, cerdas dalam hal perkembangan jiwa dan matang dalam hal berperilaku. Pendidikan juga merupakan suatu upaya untuk membuat manusia menjadi lebih baik. Pendidikan juga adalah proses yang membantu kaum muda dan anak-anak untuk bertumbuh secara laras-serasi bakat pembawaan fisik, moral dan intelektual sehingga mereka dapat mencapai kesadaran penuh untuk bertanggung jawab dan kesadaran itu akan tampil dalam uasaha yang terus menerus untuk mengembangkan hidup mereka sendiri. Melalui pendidikan anak-anak dan kaum muda belajar untuk mengatasi hambatan-hambatan dengan kebesaran jiwa dan ketabahan hati guna mencapai kebebasan yang sejati (J. Riberu, 1970: 121)

Pendidikan iman bertujuan mengembangkan kemampuan anak untuk mengenal Tuhan dan mampu menjalani hubungan yang intim dengan Tuhan dalam tindakan nyata. Dalam kehidupan pribadinya dan juga dalam perjumpaan dengan orang lain ia mampu menemukan Tuhan. Minat anak terhadap kehidupan religius tergantung pada pola tingkah laku dan perbuatan orang tua. Anak-anak yang sering dilibatkan oleh orang tua dalam kegiatan-kegiatan rohani seperti doa, peribadatan atau perayaan ekaristi, lebih memiliki minat yang lebih besar, dibandingkan dengan anak-anak yang tidak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan religius.

Dalam rangka pendidikan agama, pada masa ini sebaiknya lebih bersifat mendidik dan berusaha mengembangkan sumber daya manusia. Pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia hendaknya mampu memberikan basis antropologis bagi kehidupan iman, menumbuhkan rasa percaya, kebebasan, bersedia memberikan diri atau berkorban, mengungkapkan doa, bersedia ambil bagian dalam sebuah kegiatan atau kesediaan berpartisipasi dan menciptakan suasana yang menggembirakan. Pada masa anak-anak, aspek-aspek penting dalam pembinaan adalah latihan doa dan pengenalan Kitab Suci (Komkat KWI, 2000: 162). 

Memang idealnya adalah pembinaan iman harus selalu mulai dari keluarga dan mungkin juga lingkungan masyarakat tempat anak itu bertumbuh. Namun ketika kenyataan bahwa ada begitu banyak anak yang pendidikan imannya tidak diperhatikan di dalam keluarga dan masyarakat maka pendidikan di sekolah menjadi satu-satunya sarana yang memberi solusi. Di sini fungsi guru agama katolik di sekolah perlu mendapat sorotan karena perannya yang spesial yakni sebagai pendidik dan pengajar iman katolik. Secara teori guru mengetahui tahapan perkembanga iman anak dan hal itu memungkinkannya untuk menemukan metode yang tepat dalam menumbuh kembangkan iman anak. Guru agama dengan segala kompetensi yang dimilikinya akan lebih fokus dan sistematis dengan merancang program pembinaan dan pendidikan yang tidak hanya terpusat dan terpenjara dalam ruang kelas tetapi bisa dikembangkan di luar jam pelajaran. Dalam konteks ini keterpanggilannya sebagai pewarta Injil yang paling konkret akan teruji. Sejatinya guru agama katolik tidak hanya berkarya hanya pada saat jam pelajaran agama di dalam kelas yang hanya menunggu gaji jika habis bulan. Guru agama katolik harus rela berkorban, bersinergi dengan pihak terkait antara lain pastor paroki, dewan paroki, ketua lingkungan hingga ketua kelompok basis. Guru agama katolik haruslah mencontohi hidup Yesus sendiri mencari dan menyelamatkan yang hilang (bdk Luk 19: 10). 

C. Eksplorasi Penyebab Masalah Berdasarkan Kajian Realitas/Empiris

“Peranan Guru Agama Katolik dalam Menumbuh-Kembangkan Iman Peserta Didik” merupakan masalah yang penulis angkat dalam tugas analisa materi profesional pendidikan profesi guru pendidikan Agama Katolik. Hal ini bertolak dari pengalaman yang penulis lihat dan alami pada tingkat satuan pendidikan SMAN 1 Pahunga Lodu, Sumba Timur. Selama kurang lebih enam bulan mengabdi terhitung sejak 1 Desember 2022 hingga sekarang, penulis menjumpai hal-hal baru dan unik dalam kaitan dengan iman peserta didik yang mengaku diri sebagai agama katolik. Selain menjumpai peserta didik yang baru, penulis juga menjumpai kenyataan berkaitan dengan pemahaman dasar mereka tentang iman katolik. Ada kondisi yang memprihatinkan antara pengakuan mereka dengan fakta sesungguhnya yang ditemukan. Mereka mengakui sebagai katolik sejak mereka di lahirkan tetapi rasanya aneh ketika disuruh untuk mendaraskan doa-doa pokok katolik mereka tidak menguasainya. Selain itu, saat disuruh untuk memimpin doa secara spontan karakteristik doa yang diucapkan seperti doa yang diungkapkan oleh sesama saudara dari kristen protestan. Memang ada beberapa peserta didik yang benar-benar menunjukkan karakteristik kekatolikan. Namun itu hanya sebagian kecil saja.

Sejak awal berdirinya tahun 2014 hingga November 2022, SMAN 1 Pahunga Lodu tidak memiliki guru agama katolik yang memang memiliki kualifikasi keagamaan katolik. Selama kurun waktu tujuh tahun peserta didik yang beragama katolik mendapatkan pengajaran agama katolik dari guru yang beragama katolik tetapi dari disiplin ilmu lain. Sehingga bisa dibayangkan kualitas pembelajaran yang dilaksanakan di dalam kelas serta dampaknya bagi kompetensi peserta didik. Mayoritas peserta didik di SMAN 1 Pahunga Lodu adalah beragama protestan. Dari total jumlah peserta didik kelas 10 sampai kelas 12 yakni 586 orang, ada 100 orang yang beragama katolik. Jadi sebagian besar siswa beragama protestan dan sebagian kecil beragama islam dan kepercayaan asli Sumba yaitu Marapu. Praktis dalam pergaulan sehari-hari di sekolah peserta didik yang beragama katolik berbaur dengan peserta didik dari agama lain. Dan daya pengaruh dari kelompok mayoritas sungguh sangat terasa. Hal ini juga berpengaruh terhadap karakteristik kekatolikan yang semestinya melekat erat dalam diri peserta didik.

Fakta lain yang ditemukan adalah dalam lingkungan keluarga ada peserta didik yang beragama katolik tetapi orangtua mereka masih teguh memegang kepercayaan Marapu walau identitas dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) beragama katolik. Hal ini penulis temukan saat peserta didik memperkenalkan diri. Praktis keadaan ini membuat anak tidak mendapatkan pendidikan iman yang benar dari dalam keluarga. Di sisi lain ada juga peserta didik yang tidak tinggal dengan orangtua kandung tetapi tinggal dengan orangtua wali yang beragama protestan dan ada juga yang tinggal dengan orangtua wali yang beragama islam. Situasi ini juga sama sekali tidak memungkinkan untuk terciptanya pendidikan dan pengajaran iman katolik di rumah. Saat ditanya apakah memiliki kebiasaan doa bersama dalam kelauarga, jawaban yang terdengar adalah tidak. Ada juga peserta didik yang rumahnya jauh dari sekolah sehingga saat berdoa pada hari Minggu ia lebih memilih berdoa di gereja protestan ketimbang datang berdoa di gereja katolik. Ketika penulis meminta alasan, jawabannya katolik dan protestan itu sama saja. 

Dalam kehidupan menggereja, banyak umat yang tidak datang ke gereja sekedar untuk berdoa pada hari Minggu. Gereja besar tetapi umat yang datang tidak banyak. Tetapi kalau perayaan Natal dan Paskah, gereja penuh karena banyak umat yang hadir. Penulis juga pernah bercerita dengan pastor paroki tentang keaktifan umat dalam hidup menggereja. Pastor paroki bercerita panjang lebar. Hal yang paling menggelitik nurani penulis adalah ketika pastor bercerita bahwa ketika pastor keras maka umat pindah ke gereja protestan. Dan ketika pendeta keras, umat pindah ke agama islam dan kalau tidak cocok mereka akan kembali ke kepercayaan Marapu. Dan umat katolik termasuk agama yang berkembang cukup pesat dari segi jumlah karena pendeta gereja protestan yang keras sehingga banyak umat yang lari atau pindah ke gereja katolik. Inilah kenyataan riil yang penulis temukan. Hal ini pula yang mendorong penulis berpikir ektra keras tentang bagaimana menumbuh-kembangkan iman peserta didik yang beragama katolik, sebab lingkungan keluarga dan masyarakat tidak memberikan situasi kondusif untuk pembentukan pemahaman iman dalam persekutuan dengan Gereja Katolik. Hemat penulis, guru agama katolik ditingkat sekolah perlu memberikan solusi yang terbaik untuk pembentukan dan pertumbuhan iman peserta didik. Dari sana peserta didik juga bisa dipacu untuk menjadi calon agen pastoral di tengah keluarga dan masyarakatnya.

4. Menganalisis Penyebab Masalah Dominan

Guru agama katolik mempunyai peran sentral dalam upaya menumbuh-kembangkan iman peserta didik di sekolah. Sebab mana kala keluarga maupun lingkungan masyarakat tidak memberi ruang bagi peserta didik untuk berkembang dalam hal iman maka guru agamalah yang mesti memberikan solusi. Dengan segala kemampuan serta sarana yang dimiliki guru agama hadir membantu peserta didik untuk bertumbuh dan berkembang dalam iman katolik yang benar. “Peran Guru Agama Katolik dalam Menumbuh-Kembangkan Iman Peserta Didik di SMAN 1 Pahunga Lodu” adalah masalah yang sengaja penulis angkat. Rendahnya pemahaman dan penghayatan iman peserta didik yang beragama katolik di sekolah tidak terlepas dari peran guru agama katolik.  Tidak dapat diingkari bahwa dalam kehidupan anak, pendidikan memiliki tempat dan peran yang teramat strategis. Melalui pendidikan, anak dibantu dan distimulasikan agar dirinya berkembang menjadi pribadi yang dewasa secara utuh. Begitu juga dalam kehidupan beragama dan beriman, pendidikan iman mempunyai peran dan tempat yang utama. 

Meskipun perkembangan hidup beriman pertama-tama merupakan karya Allah yang menyapa dan membimbing anak menuju kesempurnaan hidup berimannya, namun manusia bisa membantu perkembangan hidup beriman anak dengan menciptakan situasi yang memudahkan semakin erat dan mesranya hubungan anak dengan Allah. Dengan demikian, pendidikan iman tidak dimaksudkan untuk mencampuri secara langsung perkembangan hidup beriman anak yang merupakan suatu misteri, tetapi untuk menciptakan situasi dan iklim kehidupan yang membantu serta memudahkan perkembangan hidup beriman anak. 

Negara mempunyai kewajiban untuk menjaga dan memfasilitasi agar pendidikan iman bisa terlaksana dengan baik sesuai dengan iman masing-masing. Salah satu bentuk dan pelaksanaan pendidikan iman adalah pendidikan iman yang dilaksanakan secara formal dalam konteks sekolah yang disebut pelajaran agama. 

Dalam konteks Agama Katolik, pelajaran agama di sekolah dinamakan Pendidikan Agama Katolik yang merupakan salah satu realisasi tugas dan perutusannya untuk menjadi pewarta dan saksi Kabar Gembira Yesus Kristus (Tripanas Uniwara, 2021: 506).

Melalui Pendidikan Agama Katolik peserta didik dibantu dan dibimbing agar semakin mampu memperteguh iman terhadap Tuhan sesuai ajaran agama Katolik dengan tetap memperhatikan dan mengusahakan penghormatan terhadap agama dan kepercayaan lain. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan hubungan antarumat beragama yang harmonis dalam masyarakat Indonesia yang majemuk demi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan kata lain, Pendidikan iman berdasarkan agama katolik bertujuan membangun hidup beriman kristiani peserta didik. Membangun hidup beriman Kristiani berarti membangun kesetiaan pada Injil Yesus Kristus yang memiliki keprihatinan tunggal terwujudnya Kerajaan Allah dalam hidup manusia (Fuellenbach, 2006). Kerajaan Allah merupakan situasi dan peristiwa penyelamatan, yaitu situasi dan perjuangan untuk perdamaian dan keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan, persaudaraan dan kesatuan, kelestarian lingkungan hidup yang dirindukan oleh setiap orang dari berbagai agama dan kepercayaan. 

Pendidikan iman katolik pada hakikatnya usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh iman dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama Katolik. Hal ini dilakukan dengan tetap memperhatikan penghormatan terhadap agama lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan salah satu usaha untuk memampukan peserta didik membangun relasi, memahami, menggumuli dan menghayati iman (F.X. Dapiyanta, 2022: 10). Dengan kemampuan berinteraksi ini antara pemahaman iman, pergumulan iman dan penghayatan iman itu sendiri diharapkan iman peserta didik semakin diperteguh. 

Dan salah satu tujuan Pendidikan Agama Katolik pada dasarnya adalah peserta didik memiliki kemampuan untuk membangun hidup yang semakin beriman. Membangun hidup beriman Kristiani berarti membangun kesetiaan pada Injil Yesus Kristus, yang memiliki keprihatinan tunggal, yakni Kerajaan Allah. Kerajaan Allah merupakan situasi dan peristiwa penyelamatan situasi dan perjuangan untuk perdamaian dan keadilan, kebahagiaan dan kesejahteraan, persaudaraan dan kesetiaan, kelestarian lingkungan hidup, yang dirindukan oleh setiap orang dari pelbagai agama dan kepercayaan.

Pendidikan agama katolik itu sendiri mempunyai beberpa ruang lingkup, yakni pribadi peserta didik yang membahas tentang pemahahaman diri sebagai pria dan wanita yang memiliki kemampuan dan keterbatasan, kelebihan dan kekurangan dalam berelasi dengan sesama serta lingkungan sekitarnya; tentan Yesus Kristus yang membahas tentang bagaimana meneladani pribadi Yesus Kristus yang mewartakan Allah Bapa dan Kerajaan Allah, seperti yang terungkap dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru; tentang Gereja yang membahas tentang makna Gereja, bagaimana mewujudkan kehidupan menggereja dalam realitas hidup sehari-hari; dan tentang masyarakat yang membahas secara mendalam tentang hidup bersama dalam masyarakat sesuai firman/sabda Tuhan, ajaran Yesus dan ajaran Gereja. 

Untuk mencapai semua tujuan pendidikan iman katolik dituntut peran guru yang kreatif. Menurut pendapat Oktavia (2020) guru adalah orang yang memiliki karakteristik sebagaio berikut: mempunyai komitmen terhadap profesionalitas, yakni melekat dalam dirinya sikap dedikatif atau pengabdian yang tulus; mempunyai komitmen proses dan hasil kerja, mampu menjelaskan serta mengembangkan dimensi teoritis dan praktis; mendidik dan menyiapkan peserta didik untuk masa depan yang lebih baik. Konsep yang sama ini juga mestinya ada dalam diri guru agama katolik di lembaga pendidikan.

5. Menganalisis Penyebab Masalah Determinan

Pada tugas analisa bahan ajar ini, saya mengangkat persoalan tentang rendahnya pemahaman dan penghayatan iman peserta didik di SMAN 1 Pahunga Lodu Sumba Timur. Indikator yang bisa dilihat adalah peserta didik umumnya belum bisa menghafal tanda salib maupun doa-doa pokok dalam Gereja Katolik. Di tambah lagi guru pengampu mata pelajaran agama katolik bukan dari bidang ilmu keagamaan katolik tetapi dari bidang ilmu yang lain. Hanya karena gurunya beragama katolik maka dipercayakan mengajar agama katolik.  Saya sendiri baru 6 bulan mengabdi di sekolah ini sebagai ASN PPPK guru agama katolik. 

Kenyataan inilah yang mendorong saya untuk untuk melihat secara lebih dalam tentang apa yang menjadi penyebab sehingga masih banyak peserta didik yang belum bisa berdoa secara katolik padahal sudah masuk pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Saya pun mengangkat masalah ini dengan menyoroti bagaimana Peran Guru Agama Katolik dalam Menumbuh-Kembangkan Iman Peserta Didik di SMAN 1 Pahunga Lodu.

Kehidupan dunia dewasa ini memang sering kali berada jauh dari iman atau bahkan malah bermusuhan keluarga-keluarga kristen sangat penting sebagai pusat suatu iman yang hidup meyakinkan. Karena itu konsili Vatikan II menamakan keluarga menurut sebuah ungkapan tua yakni Ecclesia Domestica-Gereja Rumah Tangga. dalam pengakuan kelarga hendaknya orangtua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orangtua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing secara istimewa panggilan rohani (Shakti Prabowo, 2016: 57). 

Dalam banyak aspek memang keluarga menjadi basis pertama pendidikan iman anak.  Namun muncul persoalan bahwa banyak anak yang hidup dari keluarga yang belum menganut agama katolik. Saya mengambil contoh anak-anak di SMAN 1 Pahunga Lodu yang mempunyai orantua dengan latar belakang agama Marapu. Marapu merupakan agama asli masyarakat Sumba dan masih banyak orang Sumba yang mengaku katolik atau pun kristen hanya sekedar untuk ditulis dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Praktek hidup atau kebiasaan katolik belum mereka pahami. 

Sementara itu banyak juga peserta didik yang tidak tinggal dengan orangtua mereka tetapi tinggal bersama orangtua wali yang beragama protestan dan juga beragama islam. Dari sini bisa dipstikan jika mereka tidak memiliki kebiasaan doa secara katolik di rumah mereka. Selain itu mayoritas masyarkat beragama protestan sehingga kebiasaan doa peserta didik yang beragama katolik seringkali dipengaruhi oleh kekhasan doa agama protestan. Hal ini nyata ketika saya menyuruh mereka untuk memimpin doa spontan sebelum mengikuti pelajaran agama katolik. Ketika di tanya mengapa doamu seperti doa protestan jawaban mereka umumnya di rumah dan di lingkungan seringkali mengikuti acara dan ibadat protestan. Hal ini jelas jika faktor lingkungan juga turut membentuk pemahaman iman peserta didik. 

Saya sempat bercerita dengan pastor paroki dan pastor paroki pun memberi kesaksian bahwa kesadaran hidup menggereja umat masih kurang. Hal ini nyata dengan tingkat kehadiran umat di gereja pada misa hari Minggu sangat kurang. Kecenderungan umat datang gereja hanya pada setiap hari-hari besar seperti natal dan paskah. Lebih lanjut diceritakan bahwa jika pastor keras dengan umat maka umat akan dengan mudah meninggalkan Gereja dan berpindah ke agama protestan dan demikian pun sebaliknya jika pendeta keras maka banyak yang masuk katolik. Kalau pendeta atau pun pastor keras maka umat akan kembali ke kepercayaan asli Marapu.

Kenyataan-kenyataan inilah menjadi faktor determinan mengapa pemahaman dan penghayatan iman katolik peserta didik SMAN 1 Pahunga Lodu masih sangat rendah. Jika demikian maka saya berpikir tentang bagaimana peran saya sebagai guru agama katolik untuk menumbuh kembangkan iman peserta didik mana kala keluarga dan lingkungan tidak cukup kondusif untuk menumbuh kembangkan iman katolik peserta didik. Pendidikan iman katolik pada hakikatnya usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh iman dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama Katolik. Hal ini dilakukan dengan tetap memperhatikan penghormatan terhadap agama lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Secara lebih tegas dapat dikatakan bahwa pendidikan Agama Katolik di sekolah merupakan salah satu usaha untuk memampukan peserta didik membangun relasi, memahami, menggumuli dan menghayati iman (F.X. Dapiyanta, 2022: 10).

Dalam buku pegangan guru pendidikan agama katolik kelas X untuk SMA dan SMK di tegaskan tentang ruang lingkup pendidikan agama katolik, antara lain pertama, pribadi peserta didik yang membahas tentang pemahahaman diri sebagai pria dan wanita yang memiliki kemampuan dan keterbatasan, kelebihan dan kekurangan dalam berelasi dengan sesama serta lingkungan sekitarnya; kedua tentang Yesus Kristus yang membahas tentang bagaimana meneladani pribadi Yesus Kristus yang mewartakan Allah Bapa dan Kerajaan Allah, seperti yang terungkap dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru; ketiga, tentang Gereja yang membahas tentang makna Gereja, bagaimana mewujudkan kehidupan menggereja dalam realitas hidup sehari-hari; dan keempat tentang masyarakat yang membahas secara mendalam tentang hidup bersama dalam masyarakat sesuai firman atau sabda Tuhan, ajaran Yesus dan ajaran Gereja (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2014). Dengan demikian, guru agama katolik dalam aktivitas pembelajaran perlu memperhatikan keempat komponen ini. 

Peranan guru pendidikan agama katolik tidak bisa tergantikan oleh guru pelajaran lain meskipaun guru itu beragama katolik. Menunjuk guru yang tidak memiliki spesifikasi keagamaan katolik untuk mengajar agama katolik merupakan suatu kekeliruan. Tetapi bisa dipahami karena keterbatasan tenaga guru. sebab sesungguhnya guru pendidikan agama Katolik adalah mereka yang memiliki spesialisasi dan profesional dalam bidang mendidik, mengajar, membimbing, dan mengarahkan siswa sesuai dengan ajaran iman-moral Katolik. Tujuannya agar setiap peserta didik benar-benar berkembang dalam iman Kristiani yang terwujud dalam tindakan-tindakan moral yang nyata kepada Tuhan, sesama, diri sendiri dan alam ciptaan.

Pada umumnya guru pendidikan agama Katolik adalah awam-awam yang turut berpartisipasi dalam tugas kenabian Kristus. Mereka hidup di tengah-tengah masyarakat dan lebih dari itu ikut merasakan suka duka kehidupan masyarakat. Dalam situasi inilah mereka menemukan pelbagai persoalan moral dan sosial yang mempengaruhi kehidupan personal dan terutama kehidupan bersama dalam lembaga pendidikan. Mereka mesti mengambil sikap yang tegas untuk mengobservasi semua pengalaman ini dalam bingkai pemahaman iman dan ajaran moral Kristiani, sehingga akhirnya sanggup mewartakan kabar gembira dan menyampaikan ajaran iman-moral Katolik yang berakar pada pribadi Yesus Kristus. Tugas ini pertama-tama menuntut integritas moral dan iman seorang guru pendidikan agama Katolik dan keteladanan yang diajarkan kepada siswa/i dan masyarakat di sekitar. Tujuannya adalah agar pendidikan juga dapat menjadi sebuah warta keselamatan ilahi yang tidak saja terbatas pada formasi akademis-intelektual, tetapi juga benar-benar dihidupi oleh para siswa dalam pengembangan iman dan kepribadian mereka (bdk modul KB 4 Psikomoral Guru Pendidikan Agama Katolik hal.4-5).

Menyadari akan tugas dan peran sebagai guru agama katolik, saya akan berusaha merancang desain pembelajaran yang bertujuan untuk menumbuh kembangkan iman peserta didik di SMAN 1 Pahunga Lodu.

6. Rencana Aksi

Masalah yang penulis angkat dalam tugas analisis materi ini adalah tentang pemahaman dan penghayatan iman katolik peserta didik di SMAN 1 Pahunga Lodu yang masih sangat rendah. Setiap masalah yang dihadapi sudah pasti menuntut pemecahannya. Jika demikian maka penulis berpikir tentang bagaimana peran penulis sebagai guru agama katolik untuk menumbuh kembangkan iman peserta didik mana kala keluarga dan lingkungan tidak cukup kondusif untuk menumbuh kembangkan iman katolik peserta didik.

Ada beberapa tahap yang mesti ditempuh, antara lain:

a. Perencanaan

Sebagai guru agama katolik saya harus merencanakan program-program yang relevan guna menumbuh kembangkan iman peserta didik. Perencanaan ini tidak hanya sebatas aktivitas pembelajaran di dalam kelas tetapi juga kgiatan lain yang di luar kelas. 

Kegiatan di dalam kelas 

Kegiatan di dalam kelas tentu melekat erat dengan materi ajar yang sudah tersedia dan menuntut peserta didik untuk memahami secara kognitif. Pada gilirannya mereka akan memiliki pemahaman dasar tentang iman katolik. Selain itu, peserta didik juga diarahkan untuk mempraktekan konsep yang telah mereka pahami mereka disuruh untuk membuat refleksi, berdoa secara spontan, membaca Kitab Suci, Sharing Kitab Suci, Katekese, menyanyikan Mazmur, mendaraskan doa-doa pokok dalam Gereja Katolik.

Kegiatan di Luar Kelas

Kegitan di luar kelas yang akan dibuat adalah melaksanakan ibadat seminggu sekali, mengundang pastor paroki untuk melayani misa di sekolah dua kali dalam sebulan, mengadakan rekoleksi menjelang masa adven dan masa prapaska, mengadakan retret pada setiap akhir semester (dua kali setahun).

b. Koordinasi dengan pihak terkait

Setelah menyusun perencanaan, langkah berikutnya adalah melakukan koordinasi dengan pihak terkait dalam hal ini kepala sekolah, kurikukulum, kesiswaan, bendahara dan pembina OSIS. Koodinasi ini tentu saja berhubungan dengan kegiatan kerohanian di luar kelas. Kegiatan di luar kelas ini tentu tidak boleh mengganggu atau bertabrakan dengan program sekolah. Pada waktu koordinasi ini penulis menyampaikan program yang telah direncanakan di atas. Sepanjang kegiatan luar kelas ini tidak bertentangan dengan visi dan misi sekolah, hemat penulis program yang direncanakan bisa berjalan dan mendapat dukungan moral dan juga finansial. Selanjutnya penulis juga akan berkoordinasi dengan pastor paroki untuk terutama berkaitan dengan misa sekolah, rekoleksi dan retret agar bisa dimasukan dalam jadwal kerja pastor paroki. Sejauh pengamatan pastor paroki pasti sangat mendukung.

Untuk diketahui jumlah keseluruhan peserta didik di SMAN 1 Pahunga Lodu sebanyak 586 orang dan peserta didik yang beragama katolik dari kelas 10 sampai dengan kelas 12 untuk tahun pelajaran 2022/2023 sebanyak 100 orang. Estimasi untuk tahun pelajaran 2023/2024 bisa lebih atau mendekati jumlah yang sekarang. Dengan estimasi jumlah yang ada, maka sangat mungkin untuk dilaksanakan aktivitas rohani di luar kelas. Agar semua program ini busa berjalan sempurna tentu butuh keuletan serta semangat mau memberi diri sebagai guru agama katolik. Sebab jika semua program kegiatan di atas dilaksanakan dengan baik bukan mustahil pemahaman dan penghayatan iman peserta didik benar-benar terbentuk. Dalam iman semuanya ini akan terlaksana dan mencapai tujuan yang diharapkan tentu tidak terlepas dari kuasa Roh Kudus. Roh Kuduslah yang akan membimbing dan menuntut peserta didik untuk semakin dekat dengan Tuhan dalam persekutuan dengan Gereja Katolik.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PBL Analisis Materi Profesional PPG Pendidikan Agama Katolik 2023"

Posting Komentar