Perempuan sebagai "Penolong" Laki-laki - Perangkat Mengajar Katolik SMA/SMK

Perempuan sebagai "Penolong" Laki-laki

Manusia merupakan makhluk yang memiliki akal budi dan kehendak bebas. Akal budi memampukan manusia bisa membedakan yang benar dan salah, baik dan buruknya suatu tindakan atau perbuatan. Sedangkan kehendak bebas memungkinkan manusia untuk memilih dan menentukan suatu tindakan berdasarkan hati nuraninya.

Secara biologis, manusia terdiri dari dua jenis kelamin, yakni jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan. Perbedaan jenis kelamin ini juga terpancar melalui ciri-ciri secara fisik dan psikologis. Dari segi fisik laki-laki terlihat lebih kuat, kekar sedangkan perempuan lebih lembut dan halus. Sementara itu secara psikologis atau kejiwaan laki-laki lebih berorintasi keluar dirinya (ekstrovert), sanggup menciptakan sesuatu sedangkan perempuan lebih berorientasi ke dalam dirinya (introvert), memelihara atau merawat. Tentu masih banyak lagi perbedaan antara pria dan wanita baik yang tampak maupun yang tidak tampak.

Pada satu sisi perbedaan itu, memungkinkan laki-laki dan perempuan dapat hidup saling melengkapi dan saling membutuhkan satu sama lain. Namun di sisi lain perbedaan itu menciptakan suatu kelompok sosial. Laki-laki dilihat sebagai makhluk pertama sedangkan perempuan sebagai makhluk kelas dua. Akibatnya perempuan seringkali menjadi korban tindakan kekerasan. 

Perempuan
Photo by Saint Ariman from Pexels

Tulisan ini akan memaparkan tentang pola relasi antara pria dan wanita yang masih lazim terjadi, berupa budaya patriarkhi dan gerakan feminisme serta bagaimana ajaran kristiani (berdasarkan Kitab Suci) memberikan paradigma baru dalam menjawab pola relasi tersebut. Selain untuk menambah wawasan pembaca umumnya, tulisan sederhana ini dikhususkan bagi guru, orangtua, dan peserta didik kelas Sepuluh Sekolah Menengah Atas sebagai bahan bacaan dan referensi pendukung dalam kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti. 

Budaya Patriarkhi

Budaya patriarki merupakan suatu konsep kebudayaan di mana garis keturunan ditentukan atau mengikuti garis keturunan laki-laki. Anak laki-laki memiliki hak atas warisan orangtua sedangkan anak perempuan tidak berhak. Hal ini dikarenakan anak perempuan akan mengikuti suaminya setelah ia menikah.

Hal yang paling mencolok dari pelaksanaan budaya patriarki dalam kehidupan masyarakat terlihat jelas dalam adat perkawinan. Laki-laki akan memberikan sejumlah mahar atau belis (mas kawin) kepada orangtua atau keluarga dari perempuan yang akan dinikahkannya. Pemberian mas kawin ini memberi kesan seakan-akan perempuan diperjual belikan. Kebiasaan ini masih sangat kental terjadi pada kelompok masyarakat tradisional di Indonesia.

Keadaan ini membuat perempuan menjadi kelompok yang rentan terhadap aksi kekerasan dari pihak suami atau pun keluarga suaminya. Perempuan harus taat dan tunduk pada suaminya. Ia harus siap sedia melayani suaminya kapan pun dan dalam situasi apa pun. Laki-laki (suami) diibaratkan sebagai tuan dan perempuan (isteri) sebagai hamba. Tugas pokok isteri adalah mengurus anak-anak, membersihkan rumah, memasak, mencuci pakaian. Tugas-tugas rumah semuanya diserahkan kepada perempuan selaku isteri. Sedangkan laki-laki (suami) fokus mencari nafkah.

Budaya patriarkhi ini membentuk karakter laki-laki menjadi penguasa dan mendominasi kaum perempuan sehingga apa pun yang diperbuat laki-laki terhadap perempuan dilihat sebagai benar adanya. Tidak dapat diingkari pula bahwa budaya patriarkhi ini juga turut mempengaruhi perempuan dalam membuat konsep dan pandangan tentang dirinya sendiri. Sehingga sering dijumpai bagaimana perempuan menerima begitu saja apa pun perlakuan suami terhadap dirinya. Bahkan kadang “mendukung” perlakuan kasar pria terhadap wanita. Mirisnya lagi hal itu terjadi pada perempuan yang sudah mengenyam pendidikan tinggi.

Budaya patriarkhi ini tentu saja tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan juga terjadi hampir seluruh masyarakat di belahan dunia ini. Hal ini dimungkinkan oleh penafsiran ajaran agama atau keyakinan  yang seakan turut mendukung terciptanya dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan. Ketika muncul kritikan atau perlawanan terhadap budaya patriarki ini, selalu ada argumentasi logis dari tokoh budaya maupun tokoh agama sebagai bentuk pembenaran terhadap kenyataan yang ada. Hingga akhirnya perempuan tetap berdiri sebagai pihak yang salah dan kalah.

Gerakan Feminisme

Gerakan feminisme merupakan sebuah gerakan yang menginginkan kesederajatan antara pria dan wanita. Gerakan ini lebih dilihat sebagai isu gender yang menekankan tentang kebebasan perempuan dalam menentukan kehidupannya sendiri. Gerakan feminisme ini tidak lebih sebagai upaya untuk menentang dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan. Ada sebuah upaya untuk menciptakan sebuah paradigma yang baru dalam memandang perempuan dan kehidupannya, perempuan mesti ditempatkan pada posisi yang setara dengan kaum pria. 

Gerakan feminisme ini sudah begitu nyata dalam dunia modern saat ini. Perempuan telah dilihat sebagai mitra yang sejajar dengan kaum laki-laki. Tugas mencari nafkah bukan lagi monopoli suami melainkan juga isteri ikut ambil bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya menggapai kemakmuran ekonomi keluarga.

Dalam hal mengatur rumah tangga seperti mengurus anak-anak, membersihkan rumah, memasak dan lain-lainnya, suami juga turut terlibat secara aktif. Sehingga tidak jarang dijumpai ada begitu banyak pria yang pandai atau hebat dalam memasak.

Namun, harus perlu disadari bahwa gerakan feminisme secara radikal menuntut agar perempuan menjadi sama persis dengan laki-laki dalam kaitan dengan pelaksanaan tugasnya. Mereka lupa bahwa dari kodratnya laki-laki dan perempuan itu berbeda. Sebagai contoh kodrat perempuan adalah bisa mengandung dan melahirkan anak sedangkan laki-laki tidak demikian. Itu berarti perempuan tidak bisa menuntut untuk menjadi sama seperti pria.

Meski demikian, gerakan feminisme ini sedikitnya telah mengubah pola pikir manusia dalam memandang dan memperlakukan perempuan. Ada dampak positif yang bisa dirasakan sebagai akibat dari gerakan ini, yakni melihat perempuan sebagai mitra yang sejajar atau setara dengan kaum pria.

Merenungkan Makna Ajaran Kitab Suci tentang Relasi Pria dan Wanita

Berdasarkan keyakinan kristiani, pria dan wanita merupakan ciptaan Tuhan yang paling mulia dari semua ciptaan yang lain. Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi. Dengan demikian keduanya memiliki kedudukan yang sejajar. Pria dan wanita diciptakan bukan untuk menjadi tuan dan yang lainnya menjadi hamba.

Seringkali dijumpai kenyataan bahwa ketika pria berbicara tentang kesederajatan atau kesetaraan lebih berfokus pada apa yang seharusnya perempuan perbuat untuk laki-laki. Demikian juga sebaliknya saat perempuan berbicara tentang kesetaraan lebih terpusat pada pemikiran tentang apa yang semestinya dilakukan laki-laki terhadap kaum perempuan.

Untuk menanggapi sekaligus menjawab aneka konsep-konsep yang sudah dibahas di atas, baiklah terlebih dahulu membaca kutipan Kitab Suci dari Kitab Kejadian 2: 18-23 berikut ini:

Tuhan Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Lalu Tuhan Allah membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara. DibawaNyalah semuanya kepada manusia itu untuk melihat, bagaimana ia menamainya; dan seperti nama yang diberikan manusia itu kepada tiap-tiap makhluk yang hidup, demikianlah nanti nama makhluk itu. Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia. Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur,Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya kepada manusia itu.  Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki."

Berdasarkan bacaan Kitab suci di atas, dapat ditarik beberapa pokok pikiran yang bisa menggambarkan tetang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berelasi dalam menjalankan fungsi atau perannya masing-masing:

a. Allah menghendaki manusia (laki-laki) hidup bersama perempuan

“Tidak baik manusia (pria) itu hidup seorang diri saja”.  Firman ini mau menunjukkan bahwa Allah menginginkan keberadaan pribadi lain yang disebut perempuan untuk hidup bersama laki-laki. Relasi kebersamaan antara laki-laki dan perempuan ini bukan tanpa tujuan. Allah menghendakinya agar laki-laki dan perempuan dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah sendiri. Berdasarkan konsep ini, sesungguhnya laki-laki dan perempuan diciptakan untuk memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah. Mereka bersama-sama dipanggil untuk mengabdikan diri mereka dalam melanjutkan karya peciptaan Allah melalui prokreasi. Dan hal ini sesuai dengan firman Allah yang memberi tugas kepada pria dan wanita untuk beranak cucu dan bertambah banyak (Kej 1:28).

b. Perempuan sebagai “Penolong” Laki-laki
Allah menciptakan perempuan sebagai penolong laki-laki, artinya laki-laki tidak bisa hidup tanpa perempuan. Laki-laki menjadi sungguh-sungguh laki-laki karena ada perempuan. Demikian pun sebaliknya, perempuan menjadi benar-benar perempuan karena ada laki-laki. Kata penolong di sini bukan untuk dimengerti sebagai pembantu atau hamba untuk kaum pria sehingga memiliki kedudukan yang lebih rendah. Kata penolong juga tidak dimaksudkan karena laki-laki itu sangat lemah sehingga perlu ditolong. Kata penolong di sini diarahkan pada pemahaman tentang relasi antara pria dan wanita yang sederajat. 

Kesederajatan bukan untuk meniadakan perbedaan hakiki pria dan wanita melainkan kesederajatan dengan konsep atau pemikiran yang baru. Konsep baru itu adalah saat laki-laki dapat berkata: “Allah menciptakan perempuan  sebagai penolong saya, berarti dia (perempuan) itu adalah bukti cinta Allah kepada saya. Allah menghendaki supaya saya berkembang lewat bantuan dia. Dengan demikian, saya harus menghormati dan melakukan apa pun yang terbaik bagi dia. Jika saya menghormati dan mengasihi dia, saya pun mencintai Allah.” Begitu pun sebaliknya perempuan bisa mengatakan saya telah diciptakan Allah sebagai penolong dia (laki-laki) maka saya akan menghormati dan melakukan apa saja yang terbaik untuk dia, sebab hal itu merupakan salah satu bukti nyata bahwa saya mengasihi Allah.”

Jika konsep atau paradigma baru ini benar-benar diterapkan dalam kehidupan oleh pria dan wanita maka aneka bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan mungkin tidak terdengar lagi. Dan juga jeritan kaum perempuan dalam gema tuntutan emansipasi dan kesetaraan jender mungkin tidak lagi dikumandangkan.

Kesimpulan

Pria dan wanita terlahir dengan aneka perbedaannya secara fisik-biologis dan secara psikis-batiniah. Perbedaan ini memungkinkan keduanya untuk hidup bersama atas dasar saling membutuhkan dan saling melengkapi. Dengan demikian tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah dalam kaitannya dengan hakikatnya sebagai manusia. Kitab Kejadian 2: 18-23 menjelaskan tentang kesetaraan pria dan wanita. Wanita dilihat sebagai penolong yang sepadan. Mereka diciptakan untuk mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah (prokreasi).

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Perempuan sebagai "Penolong" Laki-laki"

Posting Komentar