Balada Asmara Kanda (Kreasi Imajiner) - Perangkat Mengajar Katolik SMA/SMK

Balada Asmara Kanda (Kreasi Imajiner)

 (1)

Berdua di bawah naungan pohon asam, di pinggir pantai Waewole. Matahari memerah di ufuk barat. Angin sepoi-sepoi sejuk lembut mencubit kulit. Kanda menghadap ke arah Dinda. Dinda pun menghadap ke arah Kanda. Keduanya saling berhadapan. Perlahan Kanda memandang Dinda. Dinda pun memandang Kanda. Keduanya saling beradu pandang. 

Kanda menatap Dinda dengan mata berkedip gelisah melihat Dinda yang mengenakan gaun merah jambu, yang biasa dikenakan perempuan seisi negeri tatkala menjumpai seseorang yang dihormati. Betapa elok parasnya membuat mata Kanda kian merana. 

Suasana lingkungan alam sekitar seperti lolongan anjing, ringkikan kuda, lenguhan sapi dan kerbau serta kambing menghiasi padang rumput yang bertebaran di bukit-bukit tandus berkapur, ikut merendai perjumpaan mereka.

“Aku Kanda. Lihatlah tulisan di kalung leherku. Dalam diriku mengalir darah tuan, bangsawan. Aku memiliki banyak hewan di padang yang tidak terhitung jumlahnya. Memiliki banyak hamba yang selalu siap untuk diperintahkan sesuka hatiku. Merekalah yang memelihara ternakku dan aku hanya bisa mengawasi. Jika ada yang memberontak, aku tidak segan menghukumnya dengan cara yang paling kejam serta menakutkan yaitu hilang tanpa jejak dan tidak ada yang mengetahuinya.”

“Dan aku Dinda. Dalam diriku juga mengalir darah tuan, bangsawan. Lihatlah segala jenis perhiasan emas yang kukenakan untuk menggambarkan siapa aku. Aku tidak pandai memasak, mencuci piring, pakaian dan membersihkan rumah. Itu karena aku juga memiliki hamba yang bisa diperlakukan sekehendak hatiku. Hambaku terdiri dari perempuan-perempuan cantik. Tetapi, jika ada yang lebih cantik dari aku, aku akan melenyapkannya dengan cara mendorongnya ke sarang buaya. Sungguh, aku tidak rela hambaku lebih cantik dari diriku.”

“Hebaaat! Dinda benar-benar tipe perempuan yang aku inginkan. Selain parasmu nan elok menawan, perilakumu juga menggugah selerahku untuk secepatnya meminangmu, mempersuntingmu. Aku tidak sabar ingin melipatgandakan kekejamanku terhadap hamba-hambaku yang semakin hari semakin bertambah banyak. Banyak yang ganteng, juga yang cantik. Tetapi aku tidak sepertimu yang iri pada kecantikan mereka. Aku tidak perlu iri pada kegantengan hamba-hambaku itu. Sebab, aku kenal mereka sebagai orang yang tolol, bego, lugu, lucu dan dungu. Aku tidak akan membiarkan mereka mengenyam pendidikan menengah apalagi tinggi. Cukuplah mereka mengenal huruf dan angka. Berbahasa seadanya dan menghitung tambah, kurang, kali, dan bagi. Aku tidak sudi mereka cerdas karena hal itu bisa membuat posisiku terancam.”

“Wow so sweeet, keren. Aku senang sekali mendengarnya. Hasrat hati kita sama. Benar-benar sama. Ayo Kanda, aku sudah tidak sabar ingin mendekap dalam pelukanmu. Aku ingin perutku secepatnya membesar menampung bibit kekejaman berikutnya. Ya, kita akan melahirkan kejahatan yang tanpa ampun terutama kepada hamba-hamba kita atau pun kepada mereka yang kita anggap sebagai hamba.”

“Tenang saja Dinda, aku akan memerintahkan para budakku untuk mengumpulkan puluhan hingga ratusan ekor kuda, sapi, kerbau, kambing guna memeriahkan pesta perkawinan kita.”

“Iya, betul. Dan aku akan menyiapkan lusinan lembar kain tenunan dengan kualitas termahal hasil karya hamba-hambaku yang kuperintahkan untuk mengerjakannya selama dua puluh empat jam tiada henti. Sehingga lukisan dalam tenunan itu merupakan goresan yang keluar dari air mata duka, nestapa, piluh dari hamba-hambaku yang kupaksakan bekerja. Lihatlah motif yang terukir pada gaunku. Kelihatan sangat indah, mempesonakan mata hati setiap orang yang melihatnya. Biasanya motif yang dikerjakan dalam situasi tertekan akan menghasilkan sebuah ungkapan hati yang mengagumkan. Itulah sebabnya aku sengaja membuat hamba-hamba perempuanku menderita sejadi-jadinya agar dari padanya keluar imajinasi kreatif berupa motif yang indah. Ya, indah dalam derita. Kedengarannya memiluhkan namun hasilnya membanggakan Nusantara bahkan menggemakan dunia internasional.”

Begitulah Kanda dan Dinda saling memperkenalkan diri sekedar menunjukkan bahwa masing-masing pribadi memiliki kedudukan yang tidak dapat diremehkan. Mereka adalah pangeran dan ratu negeri. Inilah negeri para tuan, Kanda dan Dinda, tuan, yang bergelimang harta berupa hewan maupun berupa wajah manusia yang disebut hamba. Tuan yang berkuasa dan hamba yang wajib setia. 

(2)

Di negeri ini terbentang hamparan padang rumput dengan ribuan ekor ternak yang dijaga para hamba sahaya. Para hamba ini selalu setia pada apa yang diperintahkan tuannya. Mereka selalu setia menemani tuannya ke mana saja tuannya pergi. Ke tempat pancuran atau pemandian umum, ke tempat berak di pinggir-pinggir sungai bahkan sampai ke tempat tidur. Tidak ada hukum tertulis yang berlaku. Yang ada cuma hukum yang muncul berdasarkan mood tuannya. Saat moodnya baik, hukumnya pun penuh keadilan dan rasa perikemanusiaan. Tetapi saat moodnya jelek, hukumnya penuh dengan kekejaman dan tipu muslihat. 

Dari keadaan seperti ini terpahat guratan ketidakberdayaan di wajah para hamba. Ada butiran-butiran rindu yang tampak pada tatapan sayu para hamba. Rindu untuk bebas dari belenggu para tuan yang merasa seperti Tuhan yang harus disembah, dimuliakan dan diagungkan. Mereka tentunya manusia sebagaimana tuannya adalah juga manusia. Tetapi mereka harus rela menerima untuk diperlakukan beda.

Para hamba itu hanya bisa bilang ya di tengah situasi yang membelenggu jiwa dan raganya. Bahkan mereka tidak tahu apa itu kata tidak ketika berhadapan dengan tuannya. Menyebut nama tuannya saja adalah pantang. Di hadapan tuannya mereka  harus mengangguk tunduk dan sujud. Mereka sudah dikondisikan untuk melakukan hal demikian. 

Para hamba ini juga hanya mengenyam pendidikan dasar seadanya. Lebih banyak yang tidak tamat atau dipaksakan tamat. Tidak sedikit pun terlintas dalam pikiran mereka untuk menikmati pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Bermimpi saat tidur siang maupun malam saja dilarang. Apa lagi bercerita tentang mimpi-mimpi itu di antara sesama hamba. 

Jika itu terjadi dan didengar oleh tuannya, atau diberitahukan oleh hamba yang lain kepada tuannya, maka saat itu juga ia akan digiring ke padang oleh hambanya yang lain untuk dilenyapkan. Keesokannya, cuma ada cerita yang sengaja diutarakan bahwa seorang hamba yang setia telah ditelan buaya saat menyelamatkan seekor kambing betina yang jatuh ke sungai. Para hamba tahu kalau itu cerita penuh rekayasa. Namun, mereka hanya bisa diam dalam ketidakberdayaan, kebodohan dan kemiskinan.

Sementara tuan-tuan itu, hanya bisa berpangku tangan menunggu segalanya yang sudah disiapkan dan sudah dikerjakan. Mereka sebenarnya tidak bisa apa-apa. Mereka hanya punya pengaruh, image sebagai bangsawan walau tampang dan perilaku mereka sama sekali tidak menyerupai bangsawan. 

Dari cerita lisan dikisahkan bahwa pada masa imperialisme dan kolonialisme, para bangsawan ini mudah bersekongkol dengan para saudagar dan penjajah. Menukarkan para hambanya yang cantik dengan emas kepada para pedagang Arab, Portugis dan Belanda. Sehingga tidaklah mengherankan jika di rumah tuan-tuan itu terdapat bongkahan-bongkahan emas batangan. 

Tentu tidak ada tambang emas di tanah negeri, selain hamparan batu karang, bukit-bukit tandus berkapur dan rumput-rumput ternak. Meski demikian, emas menjadi salah satu simbol kebesaran. Semakin banyak emas berarti orang itu memiliki pengaruh yang besar dan luas. Dan tentu saja ia semakin kaya raya, dihargai, dihormati sebagai tuan. Demikianlah mereka memandang diri sendiri sekaligus memaksakan dan menghendaki orang lain berpikir seperti yang mereka pikirkan.

Manakala ada sri baginda raja, tuan yang terhormat hendak dikuburkan, banyak emas yang ikut terkubur dan banyak hewan yang disembeli. Bahkan bukan cuma hewan, manusia yang di sebut hamba atau asisten, dibiasakan untuk kesurupan seakan-akan menghendaki diri agar ikut dikuburkan bersama tuannya. Dalam keadaan kesurupan itulah para tuan yang lain yang berbadan kekar berusaha menenangkan dengan cara mencekiknya sampai diam untuk selamanya bersama jasad tuannya. Begitulah hal itu dilakukan terus-menerus secara turun temurun sampai anak cucu para hamba. 

Anak-anak para hamba siap dibagi-bagikan kepada anak-anak para tuan. Anak-anak hamba itu sudah harus berpisah dengan orangtuanya sejak usia balita. Hal ini memungkinkan mereka tidak lagi mengenal orangtuanya tapi hanya mengenal tuannya. Kepada anak-anak hamba itu ditanamkan kisah bahwa orangtua mereka telah meninggal sehingga tuannyalah yang memelihara dan membesarkan mereka. Tuannya digambarkan sebagai figur yang paling berjasa. 

Oleh karena itu, mereka harus menunjukkan kesetiaan dan rasa hormat kepada tuannya. Kesetiaan menjadi kata kunci dalam pengabdian mereka. Mereka adalah milik tuannya. Bukan milik orangtua yang melahirkannya. Bukan juga milik Sang Pencipta dalam keyakinan modern. Tidak. Mereka milik tuannya. 

Tuan itu sekaligus Tuhannya hingga keabadian. Di sana tuan akan tetap sebagai tuan dan hamba tetap sebagai hamba. Di sana tuan tetap bertindak sebagai pemilik ternak dan hamba sebagai penjaga dan pemelihara ternak. Demikianlah berlaku bagi semua tuan-tuan dan hamba-hamba di seluruh negeri.

(3)

Di negeri ini, kisah kebobrokan tuan dan kemalangan hamba pantang untuk diceritakan secara terang-terangan. Apa lagi jika dikisahkan di hadapan mereka yang merasa diri sebagai tuan, raja. Penceritannya bakal digebuk di tikungan gelap. Dan, sekiranya mereka tahu bahwa yang menceritakan itu adalah golongan hamba, maka gebukan tidaklah cukup untuknya. Yang lebih cocok adalah meniadakan nafas dari tubuhnya. 

Mereka cuma menghendaki kisah-kisah heroik para tuan, sebagaimana halnya Kanda yang selalu mengagungkan kisah tentang ayahnya yang juga seorang bangsawan yang pernah menunggang kuda terbang untuk berjumpa dengan sesama bangsawan di tempat lain. Ini tentunya kisah yang membuat para hambanya kagum dan lebih dari itu semakin taat dan setia kepadanya. 

“Kuberitahukan kepada kalian semua. Aku ini adalah Kanda, titisan darah seorang bangsawan yang pernah menunggang kuda terbang, melintasi samudera raya, dan bertemu sesama bangsawan, berperang melawan para penjajah. Kali ini, Aku akan mengadakan upacara besar-besaran dan sangat meriah untuknya yaitu penarikan batu kubur. Aku menghendaki kalian agar menceritakan hal-hal yang hebat dan luar biasa ini. Kalian harus menceritidakannya sampai ke pelosok negeri sehingga banyak turis asing juga yang datang menyaksikan.” 

Para hambanya serempak menjawab dengan sapaan khas untuk tuannya: “Yaaa, tuan."

Kanda menghendaki turis manca negara pada upacara penarikan batu kubur, padahal ia sendiri tidak bisa berbahasa asing. Bahasa Indonesia saja jatuh bangun. Ia sendiri tidak lebih cerdas dari hamba-hambanya. Maklum dia sudah terbiasa memupuk malas dengan tidur-tiduran di bale-bale atau di pendopo rumah menaranya. Ia hanya pandai di ranjang, menikmati gairah perawan hamba-hambanya yang cantik. 

Hambanya yang laki-laki jarang diberi kesempatan untuk menikmati senggama. Sehingga tidaklah mengherankan saat hewan ternak berupaya menggandakan diri, saat itu birahi para hambanya tersulut. Kerbau, sapi, kuda, kambing serta babi pun menjadi tempat pelampiasannya. Dan pada saat Kanda membiarkan hamba-hamba wanita yang sudah tidak perawan bahkan yang masih perawan berkeliaran di padang, para hamba lelaki itu tidak mengingininya. Mereka lebih memlih babi untuk dihampiri.

Tidaklah mengherankan jika harga babi di seluruh negeri sangatlah mahal. Harganya bisa ditaksir senilai harga hewan besar seperti kerbau dan sapi, bahkan lebih. Babi menjadi binatang favorit di meja makan pada saat pesta apa saja yang berkaitan dengan urusan adat. Urusan adat inilah yang paling penting dari pada mengurus pendidikan dan memperjuangkan kesejahteraan para hamba atau pun kemajuan negeri. Ada gengsi yang harus dijual. 

“Ingat, aku tidak mau kehilangan reputasi dan harga diriku sebagai seorang tuan. Kalian harus bekerja keras untuk menyukseskan upacara penarikan batu kubur itu. Jangan ada yang pergi ke sekolah sebelum upacara adat ini terlaksana. Apalah gunanya pendidikan kalau hasilnya menganggur. Aku sudah memiliki segalanya tanpa harus mengenyam pendidikan tinggi. Dengar itu?” demikianlah Kanda memberikan instruksi kepada para hambanya.

“Yaaa, tuan.”

Kanda hanya memikirkan bagaimana menjaga gengsinya. Ia seakan lupa pada Dinda,  gadis pujaannya yang masih tetap teguh menjaga keperawanan meski sudah menjadi idola semua orang di seluruh negeri berkat kemolekan paras serta tubuhnya yang seksi. Banyak godaan datang menghampiri. Tetapi Dinda mencoba untuk tetap setia menunggu Kanda.

“Kanda, Aku sudah menunggu sekian lama. Kanda tidak pernah memberikan kepastian. Aku sudah menyiapkan berlembar-lembar kain tenunan yang terindah seperti yang pernah kukatakan saat pertama kita berjumpa. Aku juga sudah menyiapkan hamba-hambaku yang akan menemaniku dan akan hidup bersama kita. Tentu hambaku yang paling cantik itu yang kubawa. Soalnya aku tahu seleramu yang enggan puas pada satu bini. Bagiku itu tidak apa-apa. Asalkan Kanda menikah denganku. Aku tidak rela keperawananku direnggut pria yang bukan bangsawan. Walau kutahu pria itu ganteng, kaya, berpendidikan tinggi dan selalu mengagungkan harkat dan martabat manusia. Pria itu selalu mengatakan ham. Mungkinkah itu hak asasi manusia?”

“Aku tidak mengenal istilah itu Dinda. Bersabarlah Dinda. Masih banyak pekerjaan yang mesti aku selesaikan. Aku tengah mempersiapkan acara akbar yaitu penarikan batu kubur untuk almarhum ayahku yang belum dikuburkan sejak sepuluh tahun yang lalu. Jasadnya masih tersimpan dengan baik dan dijaga ketat oleh hamba-hambaku sehingga anjing peliharaan tetangga sebelah tidak mencabik-cabik jasadnya. Tidak seperti jasad bangsawan dari tetangga sebelah itu yang digotong anjing beramai-ramai ke tengah perkampungan.” 

Di negeri ini, jasad manusia disimpan bertahun-tahun di dalam kamar atau ruangan sebelum dikuburkan secara adat. Biasanya ini hanya berlaku untuk golongan yang terlanjur melabeli diri sebagai tuan atau bangsawan. 

Kanda telah mempersiapkan segala sesuatu untuk menarik batu kubur guna menguburkan jasad ayahnya. Tentu bukan batu kubur sembarangan. Tetapi batu kubur dari gunung yang dianggap keramat. Semua hamba, pun tuan-tuan dan masyarakat luas yang diundang dikerahkan. 

Uraaaa! Uraaaaa! Uraaaaa!” 

Begitulah pekikan panjang yang berkali-kali, terus-menerus dilontarkan oleh para lelaki dan perempuan tua dan muda, dengan wajah garang ceria untuk membakar semangat para pejantan tangguh yang menarik batu. Tidak ada lagi perbedaan antara hamba atau tuan semuanya bercampur baur. 

Mereka bekerja bersama-sama untuk kesuksesan menarik batu kubur. Kerbau, sapi, kambing dan babi yang tidak terhitung jumlahnya dibantai untuk membiayai dan menjamu para tamu undangan dari dalam negeri maupun manca negara yang hadir. Batu yang seberat ratusan ton itu berhasil digulirkan dari ketinggian gunung menuju perkampungan. Lancar, tanpa hambatan. 

Banyak turis domestik dan mancanegara yang memotret, berjabat tangan bahkan menyentuh hidung Kanda yang penyok pesek dengan hidung mereka yang bangir mancung. Syawatnya bergelora ketika melihat turis cantik bertubuh seksi. Ia memonyongkan bibirnya sehingga bersentuhan dengan bibir turis yang imut centil. 

Saling bersentuhan hidung saat upacara adat merupakan hal yang biasa dan terasa sebagai suatu keharusan. Tidak peduli laki orang, suami orang, bini orang, isteri orang, duda, perjaka, janda, perawan. Semuanya diperbolehkan. Semua orang memandang dengan riang. Tertawa selebar-lebarnya, sebahak-bahaknya. Semuanya beres. Semuanya puas, kenyang, dan pulang dengan membawa cerita penuh kekaguman dan kegembiraan. “Wow... hebat, luar biasa, keren.” Kanda pun puas karena berhasil menjaga gengsi dan reputasinya sebagai tuan. 

(4)

Semuanya berlalu. Kini seisi negeri memasuki musim kemarau. Kekeringan mulai melanda. Bola api cakrawala garang memanasi padang sabana. Sumber air mulai menjauh. Banyak hewan ternak mati. Hamba-hamba banyak yang sakit dan terpaksa meregang nyawa di padang. Bau amis antara bangkai ternak dan mayat manusia bercampur baur. Menyengat. Burung pemakan bangkai berterbangan kian kemari. Hamba-hamba yang lain pun banyak yang lari dan ingin menentukan nasib sendiri. 

Banyak masyarakat yang pergi ke hutan mencari ubi hutan guna menyambung hidup. Tidak ada bala bantuan. Maklum ada rasa malu, gengsi untuk meminta bantuan dari kampung sebelah yang masih hidup dalam kelimpahan. Kanda tidak menyerah. Ia tetap mempertahankan gengsinya. Meski perlahan kemiskinan mulai menggerogotinya. Ia masih sendiri dengan harta yang mulai menipis. 

Inilah saat yang tepat baginya untuk mempersunting Dinda, gadis pujaannya kala berjumpa di bawah pohon asam di pinggir pantai Waewole. Mumpung masih tersisa beberapa ekor kerbau, sapi dan kuda. Biarlah itu menjadi perisai pelindung harga diri, wibawa serta gengsi sebagai seorang Bangsawan. 

Kanda menyiapkan kuda pacunya menuju rumah Dinda yang berjarak sehari semalam perjalanan dengan kuda. Naik bukit. Turun bukit. Naik bukit lagi. Demikianlah keadaan alamnya. Kanda memacu kudanya kian kencang. Syawatnya kembali menjulang saat membayangkan wajah Dinda dengan gaun merah jambu. “Wah betapa indah, cantik serta eloknya.” Demikianlah dia bergumam sambil terus memacu kudanya.

Kanda memasuki halaman rumah milik Dinda yang bersih, sejuk, indah. Tidak seperti keadaan sebelumnya saat ia datang bertamu banyak sampah di halaman pun di kolong rumah, babi-babi berkeliaran seenaknya. Kini, semuanya tertata rapi. Para hamba yang dulu kurus kering, sekarang kelihatan tambun dengan wajah berseri-seri. Mereka tidak kelihatan sebagaimana layaknya seorang hamba. Mereka semua seperti tuannya. 

"Ada apa ya? Mengapa bisa berubah seperti ini?" Gumamnya di dalam hati. 

"Heii! heii! Mengapa kalian tidak berlutut, menundukkan kepala ketika aku datang? Apakah kalian lupa kalau aku ini seorang bangsawan terkaya dan termasyur di negeri ini?" 

Kanda menghardik para hamba yang sedang bersantai ria di halaman rumah. Semua yang hadir menatapnya, tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tidak pernah terbayang olehnya Dinda berdiri di belakangnya. Kian cantik, dengan senyum merekah dari bibirnya yang tipis. Indah, penuh pesona. 

Tapi kali ini Dinda tidak sendirian. Ia menggandeng seorang pria tampan nan gagah perkasa. Dialah pria yang telah meyakinkan Dinda untuk menghormati harkat dan martabat manusia. Dialah pria yang telah berhasil membuncitkan perut Dinda dengan bibit kebaikan universal. Benih kehidupan yang bakal memperlakukan semua dengan peradaban kecerdasan dan akhlak mulia, menciptakan kemakmuran bersama, tanpa tuan yang barbar dan hamba penjilat. 

Meski ini masih sebatas mimpi dan harapan yang baru dimulai. Butuh proses yang sangat panjang guna mengubah karakter budaya masyarakat yang masih kuat tertanam hampir di seluruh pelosok negeri Kayalan. Namun mimpi dan harapan itu sudah cukup tangguh membuat Kanda terpukul. 

Dan, tersebarlah berita yang menggemparkan seisi negeri: "Seorang pria ditemukan dalam kondisi mengenaaskan di kolong jembatan. Wajah serta tubuhnya sulit dikenali." 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Balada Asmara Kanda (Kreasi Imajiner)"

Posting Komentar